MEDAN, SUARASUMUTONLINE.ID – Proyek pembangunan Kantor Bupati Tapanuli Tengah menjadi sorotan public. Betapa tidak, bangunan setengah jadi itu tak juga rampung meski sudah berjalan hingga 5 tahun dihitung dari tahun 2020 hingga sekarang ini.
Proyek pembangunan ini dimulai sejak tahun 2020 hingga tahun 2023, proyek ini telah menelan dana sedikitnya Rp79,3 miliar, yang dikucurkan bertahap dari APBD setiap tahun.
Dengan rincian :
1. Tahun 2020 menghabiskan anggaran sebesar Rp29,2 miliar. Dana ini dihabiskan untuk pondasi hingga struktur lantai tiga.
2. Tahun 2021 anggaran dikucurkan Rp31,37 miliar untuk lantai empat hingga atap.
3. Tahun 2022 anggaran Kembali dikucurkan sebesar Rp9,34 miliar untuk penyelesaian lantai satu.
4. Tahun 2023 anggaran kembali dikucurkan sebesar Rp9,5 miliar untuk lantai lima.
Jika diakumulasikan, rata-rata, setiap tahun sekitar Rp19,8 miliar digelontorkan untuk proyek ini.
Tanpa menggunakan Mekanisme Multiyears Resmi.
Sebagai perbandingan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tapteng selama 2020–2023 hanya berkisar Rp75-87 miliar per tahun, atau rata-rata Rp81,6 miliar.
Analis kebijakan anggaran dan Publik Elfenda Ananda mengatakan, sekitar 24% PAD setiap tahun tersedot untuk proyek kantor bupati yang kini justru mangkrak tanpa fungsi.
“Dari berbagai sumber pemberitaan, disebutkan bahwa proyek ini dijalankan secara bertahap tanpa kejelasan dasar hukum bahwa ia merupakan proyek tahun jamak (multi years). Padahal, PP 12/2019 dan Permendagri 77/2020 menegaskan bahwa kegiatan multiyears wajib memiliki Peraturan Daerah (Perda) dan disetujui bersama kepala daerah dan DPRD.” ujar Elfenda.
Namun menurut Elfenda, pembangunan terhadap kantor Bupati yang berkesinambungan selama 5 tahun berturut-turut tersebut dilakukan Pemkab Tapteng tanpa ada ada peraturan daerah (Perda).
Ketiadaan Perda menimbulkan dugaan bahwa proyek ini tidak menggunakan mekanisme multiyears resmi, melainkan dipecah dalam beberapa tahun anggaran agar lolos dari mekanisme pengawasan DPRD.”
Elfenda menemukan 1 bentuk kejanggalan tersebut. Menurutnya, Skema seperti ini jelas menyalahi prinsip transparansi dan akuntabilitas anggaran publik.
“Puluhan miliar rupiah uang rakyat telah dikeluarkan tanpa menghasilkan aset fungsional. Dari kacamata publik, ini sama saja dengan membakar uang rakyat Rp19,5 miliar setiap tahun. Dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk membangun sekolah, memperbaiki jalan rusak, menyediakan air bersih, atau layanan kesehatan bagi 386 ribu warga Tapteng,” katanya.
Elfenda juga melihat, proses penganggaran tidak transparan dan tidak taat hukum, manfaat sosial yang seharusnya dirasakan rakyat justru hilang. Kasus ini bukan hanya persoalan teknis proyek, tetapi bukti kerusakan sistemik dalam pengelolaan APBD.
Menurutnya, selama periode 2020–2023, lembaga pengawas internal seperti Inspektorat, TAPD, dan DPRD tampak gagal menjalankan fungsinya. Ketika seluruh mekanisme kontrol “mati fungsi”, maka anggaran publik kehilangan pagar moralnya dan menjadi kepentingan kekuasaan.
Padahal, katanya setiap rupiah dalam APBD adalah hasil keringat rakyat melalui pajak dan retribusi. Kegagalan proyek kantor Bupati Tapteng mangkrak ini menimbulkan beban ganda bagi keuangan daerah
“Bila proyek harus diselesaikan ulang, maka muncul pengeluaran tambahan (double spending) disamping kualitasnya saat ini belum diuji kelayakan yang kembali membebani APBD. Rakyat pun dirugikan dua kali: pertama, karena dana awal hilang tanpa hasil; kedua, karena harus menanggung biaya penyelamatan proyek gagal,” sebutnya.
Dalam situasi kemampuan keuangan daerah Tapteng yang sempit–di mana PAD Tapteng hanya berkontribusi sekitar 7% dari total pendapatan daerah–sementara belanja daerah rata rata sebesar Rp1 triliun, 43%nya belanja daerah tersebut habis untuk gaji pegawai. Dengan kata lain, pemborosan Rp79 miliar ini merupakan pengkhianatan terhadap keadilan fiskal.
Oleh karenanya, Elfenda meminta agar Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan mengusut kasus ini secara tuntas.
Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada operator teknis, tetapi harus menyentuh pembuat kebijakan yang memberi jalan bagi proyek ilegal ini.
Keadilan fiskal tidak diukur dari berapa lama pelaku dipenjara, tetapi dari seberapa banyak uang rakyat bisa kembali dan sistem keuangan daerah diperbaiki.
Publik berhak tahu siapa yang menandatangani dokumen anggaran tanpa dasar hukum, dan sejauh mana uang rakyat dapat diselamatkan.
“Kasus Kantor Bupati Tapteng harus menjadi pelajaran penting bahwa anggaran publik bukan alat kekuasaan, melainkan amanah rakyat. Tanpa transparansi, disiplin hukum, dan pengawasan yang tegas, APBD hanya akan menjadi sumber kebocoran baru. Rakyat Tapteng berhak mendapatkan keadilan, bukan sekadar dengan melihat pelaku dihukum, tetapi dengan melihat uang mereka kembali dan sistem diperbaiki,” tutupnya.
Penulis : Youlie









