MEDAN, SUARASUMUTONLINE.ID -Ratusan massa Aliansi Cipayung Plus Sumatera Utara (Sumut)
menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Rabu (27/8).
Organisasi mahasiswa ini terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), serta Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Dalam aksinya, massa mahasiswa tampak membakar ban bekas sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan yang mereka nilai tidak pro rakyat.
Teriakan lantang dari mobil komando menggema di sekitar lokasi aksi, salah satunya meneriakkan, Bubarkan DPR sebagai bentuk kekecewaan atas kinerja lembaga legislatif yang dinilai hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Isu yang paling menonjol disorot mahasiswa adalah soal kenaikan gaji dan tunjangan bonus anggota DPR. Menurut mereka, keputusan tersebut mencerminkan ketidakpekaan wakil rakyat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit.
“Ketika rakyat menjerit akibat harga kebutuhan pokok naik, DPR justru sibuk mengurus kesejahteraan diri mereka sendiri,” teriak salah seorang orator.
Pantauan di lapangan, aksi mahasiswa ini dijaga ketat aparat kepolisian dan sejumlah personel TNI. Barisan aparat tampak mengelilingi gerbang utama Gedung DPRD Sumut untuk mengantisipasi kemungkinan eskalasi massa.
Selain menyoroti isu lokal, mahasiswa juga mengaitkan aksi mereka dengan isu tuntutan demo nasional yang tengah bergulir. Beberapa tuntutan yang diangkat antara lain penolakan terhadap revisi Undang-Undang Penyiaran yang dianggap membungkam kebebasan pers, penolakan terhadap RUU Penyadapan yang dinilai mengancam privasi warga, serta desakan agar pemerintah segera menurunkan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Massa aksi juga menyoroti kebijakan pemerintah terkait hilirisasi sumber daya alam yang menurut mereka lebih menguntungkan korporasi besar ketimbang rakyat kecil.
“Hilirisasi jangan hanya jadi alasan memperkaya oligarki. Rakyat butuh akses ekonomi yang adil, bukan janji-janji kosong,” ujar salah satu perwakilan mahasiswa dari GMNI.
Isu demokrasi pun ikut menjadi sorotan. Mahasiswa menilai ruang kritik terhadap pemerintah dan DPR semakin sempit, ditandai dengan meningkatnya represivitas aparat terhadap demonstrasi.
Mereka menegaskan bahwa aksi-aksi mahasiswa di berbagai daerah adalah bentuk perlawanan terhadap upaya pembungkaman suara rakyat.
Aliansi Cipayung Plus Sumut menegaskan aksi ini bukanlah puncak, melainkan awal dari rangkaian gelombang protes yang akan terus digelar hingga pemerintah dan DPR benar-benar mendengar suara rakyat.
“Kalau hari ini wakil rakyat tak mau turun menemui kami, maka akan kami datangi lagi dengan massa yang lebih besar,” tegas salah seorang koordinator aksi.
Sayangnya meski diawali dengan tertip, aksi ini berakhir dengan ricuh.
Bentrokan terjadi setelah massa mahasiswa melempari aparat kepolisian dengan tomat busuk sebagai simbol protes terhadap kinerja wakil rakyat.
Insiden itu langsung memicu kemarahan aparat. Polisi yang berjaga di sekitar lokasi aksi merespons dengan tindakan represif. Bentrokan fisik pun tak terhindarkan.
Mahasiswa yang jumlahnya kalah jauh dibanding aparat akhirnya kocar-kacir. Sebagian lari ke arah Lapangan Benteng, sementara lainnya menyelamatkan diri ke kawasan Kantor Wali Kota Medan.
Pantauan di lapangan, ratusan personel kepolisian dibantu aparat TNI dikerahkan untuk membubarkan massa. Suasana mencekam terjadi di sepanjang Jalan Imam Bonjol.
Asap ban yang dibakar mahasiswa bercampur dengan teriakan panik dan kepulan debu akibat kericuhan. Beberapa mahasiswa terlihat ditangkap secara paksa oleh aparat.
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi terkait berapa jumlah mahasiswa yang diamankan. Situasi tersebut menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum.
Penulis : Youlie